RESENSI BUKU
Oleh : Ali Fauzi*, Pustakawan
Judul : Perempuan Suci
Penulis : Qaisra Shahraz
Alih Bahasa : Anton Kurnia dan Atta Verin
Tebal : 517 hlm
Cet. : I, Agustus 2006
Penerbit : Mizan, Bandung
BEBAN BERAT PEREMPUAN SUCI
Hampir setiap penulis novel yang keluar dari tanah kelahirannya dan menetap di negara lain, selalu mengangkat tema-tema lintas-budaya dalam setiap karya mereka. Konflik dua nilai dan tradisi yang berbeda selalu memikat di tangan para penulis imigran. Tidak hanya benturan nilai yang terasa menarik, namun narasi yang unik dan detail yang tajam selalu mampu menawarkan pesona yang berbeda. Gaya penulisan ini pulalah yang terdapat dalam diri Qaisra Shahraz, perempuan penulis Inggris kelahiran Pakistan.
Qaisra Shahraz, penulis novel ini, memiliki bakat yang istimewa. Dia tidak hanya sukses di bidang menulis, ia juga sukses di bidang pendidikan. Ketika menjadi jurnalis freelance, ia menulis feature dan artikel untuk beberapa koran dan majalah nasional maupun internasional. Ia juga menulis cerita-cerita pendek, skenario untuk televisi dan radio, juga dengan sangat piawai menulis novel. Maka, tak heran atas berbagai prestasinya itulah, ia masuk dalam daftar The Asian Women of Achievement Awards pada tahun 2002 dan masuk dalam daftar the Muslim News Awards for Excellence tahun 2003.
Novel “Perempuan Suci” ini adalah debut pertama Shahraz dalam menulis novel. Sebuah novel lintas budaya yang bersetting di Pakistan, Kairo, London, Arab Saudi, dan Malaysia. Novel ini merupakan sebuah kisah yang menggambarkan secara khusus salah satu kehidupan masyarakat desa di Pakistan. Tidak banyak novel karya penulis Pakistan yang bersetting kehidupan desa. Beberapa diantara mereka adalah Bapsi Sidhwa dengan novel The Bride (1983), Tehmina Durrani dengan Blasphemy (1998).
Dengan menggunakan tokoh protagonis wanita, Shahraz ingin menunjukkan bahwa wanita di Pakistan memiliki kekuatan, kemandirian dan independensi yang luar biasa. Namun, di balik itu semua mereka sangat lemah dan tidak memiliki kekuasaan untuk mengontrol nasib hidupnya dalam masyarakat. Karena itu, mereka memiliki rahasia dan kisah hidup pribadi yang tidak pernah diketahui masyarakat lain. Kondisi seperti inilah yang tercermin dalam diri Zarri Bano, tokoh utama novel ini.
Bersetting di Sindu, Pakistan, Zarri Bano adalah wanita yang sangat beruntung; cantik, tumbuh dalam keluarga muslim yang kaya, hidup dengan kemewahan, dan berpendidikan tinggi. Di umurnya yang ke 27 tahun, Zarri Bano belum juga menikah. Berbagai pinangan laki-laki dari berbagai penjuru daerah di Pakistan, tidak ada yang menarik hatinya. Suatu ketika, lelaki dari Karachi, Sikander Din, telah membuat hatinya terpikat dan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Cinta pun bersemi. Pesta pertunangan pun diadakan dengan resmi.
Dengan penciptaan karakter tokoh yang kuat, alur cerita pun bergerak cepat. Sehingga kita akan merasakan dan menikmati novel ini halaman demi halaman dengan sangat ringan. Konflik pun bermula ketika Jafar, adik kandung Zarri Bano, meninggal mendadak dalam sebuah kecelakaan. Berdasarkan tradisi nenek moyang yang berlaku, ketika satu-satunya ahli waris laki-laki meninggal dunia, maka ahli waris diturunkan kepada anak perempuan pertama. Perempuan itu disyaratkan tidak akan pernah meninggalkan rumah ayahnya. Akibatnya, dia tidak bisa menikah dan harus menjadi Perempuan Suci.
Zarri Bano pun harus menerima takdirnya sebagai seorang Perempuan Suci, seorang Shahzadi Ibadat. Yakni, perempuan yang harus menikah dengan al-Qur’an, keimanan dan agamanya. Sosok perempuan yang disimbolkan sebagai ulama Islam, seorang guru moral dan keagamaan bagi ratusan perempuan muda di kota dan daerah, seorang perempuan yang menjadi simbol kesucian dan ibadah dalam bentuk yang paling murni.
Konflik cerita berkembang mencapai puncak. Identitas diri Zarri Bano pun terkoyak. Sebagai perempuan yang memiliki gelar master, ia sangat mendukung gerakan feminis. Ia pernah menolak segala macam bentuk tirani, baik oleh laki-laki ataupun oleh masyarakat tertentu. Maka, novel ini berkembang dengan isu yang sangat beragam; feminisme, agama, pertentangan tradisi dan modernitas, serta pencarian identitas sebagai diri dan masyarakat. Kini, ketika sang ayah menghendakinya menjadi perempuan suci, Zarri Bano bagaikan boneka lilin yang bisa dirubah-rubah bentuknya sesuai keinginan sang ayah.
Sebagai Perempuan Suci, tentu saja Zarri Bano tidak bisa dan tidak akan menikah dengan lelaki yang dicintainya. Semua terjadi hanya karena kecemburuan seorang Habib Khan, ayah Zarri Bano, terhadap lelaki yang mencintai anak perempuannya. Dengan keinginan menyelamatkan tanah dan hartanya, sang ayah mengorbankan anak perempuannya untuk melakukan selibat. Sebuah tradisi yang dalam ajaran Islam sendiri tidak pernah ada. Akibatnya, keutuhan keluarga harus menjadi taruhannya. Karena Shahzada, ibu Zarri Bano, tidak menyetujui apabila anak perempuan tercintanya tidak bisa menjadi wanita normal yang menikah dan memberikan cucu kepadanya.
Gaya bertutur novel ini terasa memesona dan sangat apik. Kemampuan penulisnya sebagai pencerita sudah tidak diragukan lagi. Cerita pendeknya yang pertama, A Pair of Jeans dan The Elopement, telah diterbitkan beberapa kali di berbagai negara. Bahkan di Jerman, cerpen tersebut telah menjadi literatur pokok di sekolah dan perguruan tinggi. Sederet penghargaan telah diterimanya di bidang penulisan. Cerpennya yang berjudul New Horizons, New Spheres mendapatkan penghargaan bergengsi Commonword Prize tahun 1988. Cerpennya Perchavah mendapatkan penghargaan Ian St James Award tahun 1994. Bahkan, drama serial TV karyanya, Dil Hee To Hai, sangat populer dan memenangkan dua penghargaan bergengsi. Kemampuan inilah yang ia curahkan untuk menulis novel yang berjudul asli The Holy Women ini. Novel ini memenangkan Jubilee Award pada tahun 2002.
Membaca novel ini serasa menyaksikan langsung dan berada di Pakistan. Aroma lokal sepanjang halaman buku ini sangat terasa dengan dipertahankannya istilah-istilah lokal dalam bahasa Urdu. Keistimewaan novel ini memuncak pada titik balik cerita. Yakni ketika lelaki yang dicintai Zarri Bano, Sikander, harus menikah dengan adik kandungnya sendiri, Ruby.
Keistimewaan novel ini terletak pada narasi yang unik, plot yang memukau, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan kemasan cerita cinta, kisah pertautan agama dan tradisi, benturan nilai-nilai lama dan nilai baru yang saling bertautan, pertentangan modernitas dan tradisionalitas yang saling bertemu, semua dibungkus dengan sangat indah, sederhana, logis, apik, yang membuat novel ini menjadi begitu memikat dan mengalir, layaknya kita menonton film “Jumanji”.
Menjadi perempuan suci, baik secara tradisi maupun agama, tidaklah mudah. Ia harus menguasai ilmu-ilmu agama dengan sangat baik. Ia dituntut untuk mengunjungi beberapa daerah dan negara untuk menyampaikan pesan-pesan Allah yang tertuang dalam al-Qur’an. Namun, sekali lagi, kesempatan untuk menyempurnakan hidup dengan meraih kebahagiaan dalam menikah menjadi hal yang sia-sia. Inilah permainan spektrum emosi yang saling bertabrakan antara agama dan dosa. Sebuah perpaduan unik dan mempesona dari seorang Qaisra Shahraz.
Novel Perempuan Suci, pada akhirnya, tidak hanya berpesan pada masyarakat tertentu. Meski dalam kemasan lokal, nilai-nilai yang tersirat di dalamnya begitu luas dan universal. Tradisi lokal yang ditampilkan dalam novel ini hanyalah sebuah potret bagaimana sebuah tradisi bertahan dalam pusaran zaman yang serba modern. Ia mengajarkan kita untuk saling mengenal tradisi, agama, dan budaya yang berbeda. Ia mengajarkan kedewasaan bersikap, menemukan identitas diri, dan ketulusan untuk memaafkan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar