RESENSI BUKU
Oleh : Ali Fauzi*, Pustakawan, tinggal di Yogyakarta
Judul : Dyah Pitaloka; Senja di Langit Majapahit
Pengarang : Hermawan Aksan
Penerbit : C Publishing, Yogyakarta
Cet. : I, Desember 2005
Halaman : viii + 328
DYAH PITALOKA;
SOSOK PEREMPUAN PEJUANG
Dyah Pitaloka Ratna Citraresmi adalah putri Maharaja Linggabuana yang memimpin Kerajaan Sunda-Galuh di abad ke-14. Sebagai putri kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka menjadi bunga sekaligus permata. Dan kelak ia diharapkan menjadi permata di seluruh Dwipantara. Tapi sebagai perempuan Sunda, ia tetaplah tak berdaya bahkan sekedar untuk menentukan babak hidupnya. Perempuan Sunda di zamannya, hanya akan menjadi bagian dari alur cerita besar yang telah ditentukan oleh semacam pakem besar kehidupan. Di Negeri Sunda, "perempuan hanyalah sosok tanpa nama".
Dengan tradisi kerajaan Sunda seperti inilah, Hermawan Aksan menghadirkan sosok Dyah Pitaloka sebagai perempuan yang memberontak terhadap diri dan tradisinya. Seorang perempuan yang menolak pasrah pada nasib. Perempuan yang ingin menentukan sendiri untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan berbekal pengetahuan dari kegemarannya membaca karya-karya sastra, Dyah Pitaloka ingin mempersembahkan cita-citanya mewujudkan perempuan yang merdeka.
Melalui kelebat-kelebat pikiran Dyah Pitaloka, pembaca dibawa ke dalam permenungan mengenai kesetaraan, kemanusiaan, dan pengorbanan. Peristiwa sejarah yang telah usang dimaknai kembali menjadi sebuah novel historis yang menawarkan sentuhan romantis.
Karakter baru Dyah Pitaloka inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi novel yang berlatar sejarah kerajaan-kerajaan dahulu ini. Semangat pemberontakan yang muncul dengan beragam tema, menjadikan novel ini layak baca di era saat ini. Gaya bertutur novel ini, sedikit banyak mengingatkan kita pada kesadaran sejarah yang dimiliki Pramoedya Ananta Toer, juga kearifan bahasa dalam novel-novel Remy Sylado.
Konflik cerita dalam novel ini bermula ketika Dyah Pitaloka menjadi salah satu kandidat dari beberapa wanita yang hendak dijadikan permaisuri oleh raja kerajaan Majapahit, raja muda Hayam Wuruk. Setelah juru lukis kerajaan Majapahit menyerahkan lukisan gambar Dyah Pitaloka, Hayam Wuruk pun jatuh cinta pada sang putri jelita. Lalu, disampaikanlah lamaran resmi yang diterima dengan segala kebanggaan oleh Prabu Linggabuana.
Dyah tak kuasa menolak. Ia tak ingin mengecewakan rama dan bundanya, meski pun sebenarnya ia masih punya cita-cita luhur memajukan kaumnya di negeri Sunda.
Ia ingin, perempuan negerinya tak hanya pandai menjadi istri setia, tetapi juga pandai membaca dan menulis. Ia tak ingin sekadar menjadi seperti Purbasari, yang begitu pasrah dengan nasibnya, juga tidak seperti Dayang Sumbi, si pemalas yang bahkan enggan untuk memungut teropong alat penenunnya. Dyah Pitaloka ingin menyusun kisah hidupnya sendiri. Ia bermimpi, perempuan Sunda kelak juga bisa memimpin negeri sebagaimana cerita yang ia baca dari negeri-negeri seberang di luar Tanah Sunda.
Meski bagi Dyah Pitaloka, pernikahan itu hanya mengukuhkan keyakinannya selama ini bahwa perempuan Sunda tidak pernah memiliki kewenangan apa pun untuk menentukan nasib dirinya sendiri, apalagi orang lain. Namun, keinginan ayahnya untuk mempererat kembali kekerabatan Sunda-Majapahit membawa Dyah Pitaloka kepada cita-cita masyarakatnya yang lebih luhur. Bahkan demi mempererat kekerabatan, raja Linggabuana rela melanggar purbatisti dan purbajati Negeri Sunda dengan mengikuti untuk mendatangi kerajaan Majapahit demi melangsungkan pernikahan, meski sebagai pihak perempuan seharusnya Linggabuana lah yang seharusnya didatangi oleh Hayam Wuruk.
Pesta kebahagiaan inilah yang justru dimanfaatkan oleh Mahapatih Gajah Mada, yang pernah bersumpah tak akan makan buah Palapa (sebagai simbol kesenangan hidup) sebelum seluruh Nusantara bersatu. Untuk melengkapi keberhasilannya menyatukan nusantara, majapahit harus menaklukkan Sunda. Bila tidak bisa menggunakan kekuatan angkatan perang, cara lainnya adalah dengan perkawinan. Pernikahan Dyah Pitaloka dengan raja Majapahit, bagi gajah mada, bukanlah perkawinan raja dengan putri dua kerajaan, melainkan penyerahan upeti sebagai tanda takluk kerajaan Sunda kepada Majapahit.
Linggabuana tentu merasa terhina dengan tipu muslihat ini dan memilih berperang demi tegaknya harga diri dan kehormatan. Dan pecahlah perang di Tegal Bubat, Palagan Bubat. Peristiwa inilah yang dalam sejarah dikenal sebagai Perang Bubat.
Penyajian cerita dalam novel ini begitu mudah diikuti dan terasa tidak menjemukan sebagaimana buku-buku sejarah. Di sisi lain, novel ini juga masih mempertahankan dengan sangat baik istilah-istilah dan tradisi-tradisi Sunda dan Jawa, semuanya dalam bahasa aslinya. Sehingga, aroma masa lalu begitu kuat sekaligus memikat.
Kekayaan novel ini barangkali terletak pada kontekstualitas historis masa lalu. Tema-tema seperti; harga diri, tradisi dan adat istiadat, idealisme, pengkhianatan, peperangan, dan cinta, semuanya memperkaya dan membuat mewah novel ini.
Akhirnya, novel ini menjadi pesan bahwa jangan sampai rusaknya susu sebelanga hanya karena oleh nila setitik. Nama besar Gajah Mada menjadi tercela karena terlalu mementingkan cita-cita besarnya tanpa memiliki satu hal yang tak kalah besar, yaitu cinta.
Lebih jauh, upaya mengangkat kembali sejarah hubungan dua daerah yang berbeda selalu mengandung pesan tentang persaudaraan kedua belah pihak. Meski dalam novel ini tergambar bahwa hubungan antara Jawa—yang dilambangkan dengan kerjaan Majapahit—dan Sunda terbelah, namun semangat yang harus lahir dari pertikaian dan pengkhianatan tersebut adalah semangat menumbuhkan persaudaraan yang lebih besar dan luhur demi tegaknya persatuan dan kesatuan nusantara.
Sabtu, 05 April 2008
DYAH PITALOKA; SOSOK PEREMPUAN PEJUANG
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar